Selasa, 11 Juni 2013

Fenomena : Media Social & Cyberbulling

Apa itu Cyber Bullying ?
Sebelum masuk dipokok pembahasan baiknya kita mengetahui seperti apa itu Cyberbullying. Istilah cyberbullying dikenalkan oleh Bill Belsey dari Kanada, dan istilah ini berkembang begitu cepat. Cyberbullying merupakan salah satu jenis bullying. Intimidasi dalam dunia cyber meliputi bentuk agresi dalam hubungan dan segala bentuk-bentuk ancaman elektronik, dan ini terjadi di mana-mana (Parsons, 2005).

Cyberbullying merupakan sebuah fenomena baru dari perkembangan teknologi komunikasi. Pada kondisi sekarang, hal tersebut didefinisikan sebagai sebuah perbuatan menyakiti yang disengaja dan diulang-ulang melalui penggunaan komputer, telepon selular dan peralatan elektronik lainnya yang dilakukan oleh sekelompok orang atau individu diman seseorang yang menjadi korban tidak bisa membela dirinya sendiri. Tujuannya adalah untuk mempermalukan, mengolok-olok, mengancam,mengintimidasi dalam rangka menegaskan kekuasaan dan kontrol atas korban tersebut.

Jenis Cyberbullying
1.      Flaming (terbakar): yaitu mengirimkan pesan teks yang isinya merupakan kata-kata yang penuh amarah dan frontal. Istilah “flame” ini pun merujuk pada kata-kata di pesan yang berapi-api.
2.      Harassment (gangguan): pesan-pesan yang berisi gangguan pada email, sms, maupun pesan teks di jejaring sosial dilakukan secara terus menerus
3.      Denigration (pencemaran nama baik): yaitu proses mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud merusak reputasi dan nama baik orang tersebut.
4.      Impersonation (peniruan): berpura-pura menjadi orang lain dan mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik.
5.      Outing: menyebarkan rahasia orang lain, atau foto-foto pribadi orang lain.
6.      Trickery (tipu daya): membujuk seseorang dengan tipu daya agar mendapatkan rahasia atau foto pribadi orang tersebut.
7.      Exclusion (pengeluaran) : secara sengaja dan kejam mengeluarkan seseorang dari grup online.
8.      Cyberstalking: mengganggu dan mencemarkan nama baik seseorang secara intens sehingga membuat ketakutan besar pada orang tersebut.

Lalu apa kaitan antara cyberbullying dengan twitter ?
Sekarang ini ada banyak akun frontal yang sering dijumpai dalam timeline twitter memakai akun pribadi maupun akun khusus yang dibuat untuk meluapkan emosi dari candaan dan guyonan. Kecenderungan orang bercanda atau menggunakan guyonan untuk mengolok-olok orang lain di Timeline twitter semakin marak dijumpa, dan kadang kita susah membedakan mana yang membully mana  candaan biasa yang meskipun keterlaluan buat yang di ejek tetapi yang ngejek pun bisa dengan santai bilang “ya kaya gitu itu cuma bercanda”.

Banyak orang memaknai secara salah kaprah mengenai cyberbullying, salah satu contoh adalah ketika sebuah opini yang dilontarkan oleh seseorang di twitter dimaknai berbeda oleh orang lain dan tentu saja hal ini akan memunculkan argumen dari orang lain, namun manakala perdebatan itu semakin panas, dan pihak pelontar tidak bisa memberikan jawaban atau argumen balik dan ia merasa ia telah di’serang’ atau di’aniaya’ sehingga makian, ungkapan ketidaksukaan yang bertebaran di twitter kerapkali dimaknai sebagai bullying dan  memunculkan konsekuensi emosional dan psikologis terhadap para korban. Konsekuensi yang tidak bisa dirasakan oleh pelaku karena umumnya mereka kehilangan apa yang disebut empathy. Umumnya para korban merasa dendam, marah dan tidak berdaya sehinggga memicu munculnya tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dilakukan si korban seperti, balas dendam, pembunuhan, dan bunuh diri.

Pada dasarnya teknologi komunikasi akan membawa kita pada dua sisi, baik dan buruk. Namun manusialah yang memegang kunci pengendaliannya. Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kita harus bertanggung jawab terhadap apapun yang kita katakan di dunia maya, baik itu melalui twitter, facebook, blog atau media sosial lainnya. Opini atau gagasan yang kita lontarkan, hendaknya dapat dipertanggungjawabkan. Kita tidak tahu apakah kalimat-kalimat yang kita lontarkan membawa stimuli negatif atau positif bagi pihak lain. Ada banyak pemaknaan dan intepretasi terhadap sebuah teks yang belum tentu sama antara satu orang dengan orang lainnya. Jangan sampai kita malah membuka peluang untuk terjadinya stimulus negatif terhadap orang lain.

Memang, dengan sifatnya yang interaktif, twitter mempunyai keuntungan tersendiri bagi para penggunanya untuk melakukan klarifikasi dan konfirmitas terhadap sebuah pesan atau informasi, sehingga cyberbullying bisa diminimalisir. Namun jangan salah, Cyberbullying ini dampaknya terkadang lebih hebat daripada bully dengan kekerasan fisik. Alasannya ? Kalau ledekan itu terjadinya di twitter, tentu akan terbaca oleh semua orang yang berteman dengan atau mengenal korban, kemudian menyebar tanpa terkendali. Korban pun akan merasakan akibatnya, baik di online maupun offline. Istilahnya, malunya dua kali. Apalagi semua yang tertulis di internet akan tersimpan selamanya.

Salah satu contoh kasus cyberbullying adalah yang dialami Megan pada 2006 lalu di St.Louis, AS. Gadis berusia 13 tahun ini mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri, setelah menjadi korban olok-olok  via internet yang dilakukan oleh temannya.

Ya, kita sering meremehkan bully, menganggap ini hanya bercanda, tanpa menyadari akibatnya berupa kematian teman yang kita bully karena tersiksa secara psikologis. Atau seseorang yang menjadi korban ancaman pihak tertentu karena sosoknya dibenci oleh banyak orang, di mana kebenciannya disebar melalui social media. Pada saat kita membully karena sikapnya yang buruk mungkin bahan bully-an itu jadi guilty pleasure bagi kita, tetapi pada saat nyawanya terancam, apakah kita masih menganggap itu bercanda?

Begitu terbuka dan demokratisnya social media, terkadang kita jadi egois karena merasa di social media bebas berpendapat. Merasa dapat mengungkapkan segala yang ingin kita ucapkan melalui tulisan, gambar, atau video, tanpa memperhatikan akibat panjangnya, dan lupa bahwa kita memiliki follower yang mungkin mudah terpengaruh tindakan kita. Kebaikan memang cepat tersebar di social media, tetapi kebencian atau keburukan di socmed juga tak kalah cepat mempengaruhi yang lain.

Kalau tujuan kita mengkritik orang lain, mungkin lebih baik kita kritik langsung ke pihak yang bersangkutan untuk perbaikan tanpa nada membully atau kata-kata yang kasar dan mempermalukan, ya. Siapa tahu suatu saat kita berbuat kesalahan, orang lain akan mengkritik kita untuk kebaikan, bukan dengan cara membully kita. Saya pun pernah mengalami, dan juga mungkin menjadi pelaku. Yuk belajar untuk tidak terbiasa mem-bully. Di social media memang tidak ada etika tertulis, tetapi mari kita mulai belajar menabung kebaikan di social media, niscaya kebaikan berbalik pada kita.